::

Navbar Bawah



Halaman

Kamis, 15 Februari 2018

Tingkat adopsi Petani dalam Pengelaloaan Tanaman Terpadu Padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo


I. PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 


Tanaman pangan, khususnya padi merupakan tanaman pokok yang diusahakan oleh sebagian besar petani di Indonesia. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam upaya memenuhi kebutuhan beras dari produksi dalam negeri, pemerintah mencanangkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang diimplentasikan pada periode 2007-2009. Melalui program ini, produksi beras ditargetkan meningkat lima persen atau setara 2 juta ton per tahun. Salah satu strategi yang ditempuh adalah pada tahun 2008 diharapkan dapat terselenggara Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di 60.000 unit. Strategi ini diharapkan dapat memperluas penyebaran pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang akan berdampak terhadap percepatan implementasi program P2BN (Deptan, 2008).


Konsepsi tentang pendekatan PTT telah disosialisasikan sejak tahun 2001, bahkan PTT telah masuk ke areal program PMI (Peningkatan Mutu Intensifikasi) sejak 2003. Namun demikian PTT diintepretasikan berbeda, dan tidak segera dipahami oleh praktisi yang telah terbiasa menerapkan anjuran paket teknologi secara umum (blanked recommendation). Karena itu pengertian dan penerapan PTT perlu disosialisasikan secara intensif (Makarim, et al, 2004). Sosialisasi mengenai penerapan PTT dilakukan melalui pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).


SLPTT berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani atau kelompok tani, sekaligus tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. SLPTT merupakan sekolah lapang bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi dalam menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan.


Dalam SLPTT petani dapat belajar di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami, mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan, menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya) dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi, yakni dengan memperhatikan karakteristik setiap daerah yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian diharapkan petani menjadi lebih terampil dan mampu mengembangkan usahataninya dalam rangka peningkatan produksi tanaman pangan nasional serta untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarga mereka. Namun demikian wilayah di luar SLPTT harus tetap dilakukan pembinaan sehingga produksi dan produktivitas tetap dapat meningkat (Dinas Pertanian Sukoharjo, 2008).


Pendekatan model PTT padi mempunyai banyak kelebihan, antara lain: permasalahan yang ada pada lokasi pengembangan diungkap bersama antar petani, penyuluh dan peneliti, selanjutnya dievaluasi dan dirumuskan pemecahannya dalam bentuk kegiatan pengembangan (demplot) yang dilakukan langsung oleh petani. Masalah-masalah yang belum terjawab atau mungkin terjadi akan dijawab dalam bentuk penelitian komponen teknologi (Zairin dan Toha, 2005). Dengan demikian paket teknologi harus dirakit secara insitu dengan mengutamakan introduksi dan renovasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan petani sehingga petani akan berpartisipasi secara aktif. Selain itu juga memperhatikan pengaruh interaksi dan efek sinergisme antar komponen teknologi yang diterapkan. Tingkat produksi dan keuntungan ekonomi dengan rasionalisasi input serta kelestarian lingkungan (zero waste) akan menjadi pertimbangan utama (Toha, 2005).


Menurut Toha (2005), komponen teknologi PTT harus saling melengkapi, bila perlu dilihat kemungkinan adanya efek sinergisme antar komponen. Teknologi yang diterapkan tidak saling bertentangan atau antagonis satu dengan yang lainnya. Paket teknologi disusun untuk memecahkan masalah (bila ada) serta sesuai dengan karakterisasi lokasi setempat dan kondisi sosial ekonomi petani. Secara utuh komponen teknologi disusun untuk mengoptimalkan sumberdaya setempat, dapat menjaga kelestarian lingkungan dan dapat menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.


Alasan pemilihan lokasi penelitian di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo karena Kecamatan Sukoharjo merupakan salah satu kecamatan yang menyelenggarakan kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Selain karena kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kecamatan Sukoharjo sudah maju juga karena penyelenggaraan SLPTT di Kecamatan tersebut merata. Setiap desa di kecamatan Sukoharjo masing-masing menyelenggrakan kegiatan SLPTT.

B. Perumusan Masalah 



Kecamatan Sukoharjo merupakan daerah dimana petani setempat terbilang baru dalam mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi. Dalam kegiatan SLPTT petani diajarkan tentang berbagai komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Dengan adanya kegiatan SLPTT, diharapkan petani mampu mengadopsi komponen PTT pada lahan. Setelah selesai mengikuti SLPTT, diharapkan juga bisa mengajak masyarakat luas untuk ikut mengadopsi PTT. Adapun komponen PTT yang dapat diadopsi oleh petani peserta SLPTT maupun masyarakat lainnya, antara lain meliputi : penggunaan varietas unggul, penggunaan benih bermutu, penggunaan bibit muda, jumlah bibit dan sistem tanam, pemeliharaan, panen dan pasca panen.


Tingkat adopsi terhadap komponen-komponen teknologi PTT padi antara petani satu dengan petani yang lainnya berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : Sifat inovasi, meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, triabilitas, observabilitas. Selain sifat inovasi, ada juga jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi, dan kegiatan promosi tentang PTT Padi.


Berdasarkan uraian diatas, maka timbul beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut: 
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi ? 
Bagaimana tingkat adopsi petani terhadap komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi ? 
Apakah terdapat hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dengan tingkat adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi? 

C. Tujuan 


Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 
Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. 
Mengkaji tingkat adopsi petani terhadap komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. 
Mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dengan tingkat adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. 
D. Kegunaan Penelitian 
Bagi peneliti, penelitian ini merupakan bagian dari proses belajar yang harus ditempuh untuk mendapatkan banyak pengetahuan mengenai Tingkat adopsi Petani dalam Pengelaloaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi dan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 
Bagi pemerintah dan instansi terkait, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan kegiatan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi. 
Bagi petani, dapat dijadikan informasi dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. 
Bagi peneliti lain, dapat dijadikan informasi untuk meneliti lebih lanjut mengenai kegiatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. 
II. LANDASAN TEORI 



A. Tinjauan Pustaka 
Adopsi Inovasi 


Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat melakanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan atau ketrampilannya (Mardikanto, 1993).


Adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasinya dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metode maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya (Mardikanto dan Sutarni, 1983).


Menurut Junaidi (2007), adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan proses berdasarkan dimensi waktu. Dalam penyuluhan pertanian, banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja, tetapi untuk sampai tahapan mereka mau menerima ide-ide tersebut diperlukan waktu yang relatif lama.


Menurut Lionberger (1960), langkah-langkah yang dilakukan seseorang untuk mengadopsi suatu ide atau gagasan baru adalah sebagai berikut : 
Kesadaran (awareness), yaitu pengetahuan pertama tentang ide baru, produk atau latihan. 
Tumbuhnya minat (Interest), yaitu aktif mencari informasi tentang ide atau gagasan baru untuk mengetahui manfaat dan penerapan ide atau gagasan baru tersebut. 
Evaluasi (Evaluation), yaitu penilaian terhadap informasi dilihat dari suatu kondisi, apakah cocok untuk diterapkan. 
Percobaan (Trial), dimana bersifat sementara untuk mencoba gagasan atau ide baru yang diterima untuk lebih meyakinkan. 
Penerapan (Adoption), yaitu penggabungan secara penuh latihan kedalam operasi atau pelaksanaan yang berkesinambungan. 


Dengan adanya perbedaan dalam kecepatan menerima sesuatu hal baru oleh petani, berakibat timbulnya suatu pembagian golongan petani yang didasarkan atas cepat lambatnya proses adopsi dan partisipasi petani dalam usaha penyebarlusan hal-hal baru tersebut ke dalam lingkungannya. Dikenal lima golongan adopter, yaitu : 
Golongan perintis atau inovator 
Golongan pengetrap dini atau early adopter. 
Golongan tokoh setempat atau pengetrap awal atau early mayoritity. 
Golongan penganut lambat atau golongan pengetrap akhir atau late mayority. 
Golongan penolak atau golongan kaum kolot atau laggard. 


( Samsudin, 1982).


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi menurut Slamet dalam Mardikanto dan Sutarni (1983), meliputi :


1) Sifat-sifat inovasi 
Keuntungan relatif (relative advantage) 


Setiap ide (inovasi) baru akan dipertimbangkan mengenai seberapa jauh keuntungan relatif yang dapat diberikan, yang diukur dengan derajat keuntungan ekonomi, besarnya penghematan atau keamanan, atau pengaruhnya terhadap posisi social yang akan diterima oleh komunikasi selaku adopter.


Menurut Rogers (1983), keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Keuntungan relatif seringkali dinyatakan dengan atau dalam bentuk keuntungan ekonomis. 
Kompatibilitas (compatibility) 


Setiap inovasi baru akan cepat diadopsi manakala mempunyai kecocokan atau berhubungan dengan kondisi setempat yang telah ada di masyarakat.


Menurut Rogers (1983), kompatibilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. 
Kompleksitas (complexity) 


Inovasi baru akan sangat mudah untuk dimengerti dan disampaikan manakala cukup sederhana, baik dalam arti mudahnya bagi komunikator maupun mudah untuk dipahami dan dipergunakan oleh komunikasinya.


Menurut Rogers (1983), kompleksitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Inovasi-inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan orang lainnya tidak. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Ini berarti makin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka akan makin lambat pengadopsiannya. 
Triabilitas (trialability) 


Inovasi baru yang tidak mudah dicoba karena perlengkapannya yang kompleks dan memerlukan biaya atau modal yang besar lebih sulit diadopsi dibanding benih varietas unggul baru yang tidak mahal dan mudah dikerjakan oleh petani.


Menurut Rogers (1983), triabilitas adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu. 
Observabilitas (observability) 


Inovasi baru, akan lebih cepat diadopsi manakala pengaruhnya atau hasilnya mudah dan atau cepat dapat dilihat atau diamati oleh komunikannya.


Menurut Rogers (1983), observabilitas adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. 
Input komplementer yang diperlukan (required complementery inputs) 


2) Jenis keputusan inovasi


Tergantung bagaimana proses atau siapa yang harus berhak mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi baru, sangat menentukan kecepatan adopsi. Keputusan yang diambil secara individual (optional), relatif lebih cepat bila dibanding adopsi inovasi yang harus menunggu keputusan kelompok (kolektif), apalagi dibanding dengan yang harus menunggu pihak penguasa yang berhak mengambil keputusan.


Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), ada beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu : 
Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan. 
Keputusan individual, yaitu keputusan dimana individu yang bersangkutan ambil peranan dalam pembuatannya. 


Keputusan individual ini ada 2 macam :


a) Keputusan opsional yakni keputusan yang dibuat oleh seseorang, terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh anggota sistem.


b) Keputusan kolektif yakni keputusan yang dibuat oleh individu-individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus.


Sebagai tambahan dari ketiga tipe di atas, ada keputusan kontingen, yakni pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya.


3) Saluran komunikasi


Penyampaian inovasi baru lewat media massa, relatif akan lebih lamban diadopsi oleh komunikan dibanding jika disampaikan secara interpersonal (hubungan antar pribadi). Sedangkan menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), saluran komunikasi yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarkan suatu inovasi mungkin juga punya pengaruh terhadap kecepatan pengadopsian inovasi.


4) Ciri-ciri sistem sosial 
Adopsi inovasi didalam masyarakat modern, relatif lebih cepat dibanding dengan adopsi inovasi di dalam masyarakat yang masih tradisional. 
Demikian pula, proses adopsi dalam masyarakat lokalite akan lebih lamban bila dibandingkan di dalam masyarakat yang kosmopolite. 


5) Kegiatan promosi


Kecepatan adopsi inovasi, juga sangat ditentukan oleh semakin intensif dan seringnya intensitas atau frekuensi promosi yang dilakukan agen pembaharuan (penyuluh) setempat dan atau pihak-pihak lain yang berkompeten dengan adopsi inovasi tersebut seperti : lembaga penelitian produsen, pedagang, dan atau sumber informasi (inovasi) tersebut.


Menurut Rogers (1995), model proses pengambilan inovasi terdiri dari 5 langkah. Langkah-langkah tersebut adalah : 
Pengetahuan, terjadi ketika seseorang dihadapkan pada suatu inovasi dan memperoleh beberapa pemahaman fungsi-fungsi dari inovasi itu sendiri. 
Persuasi atau bujukan, terjadi ketika seseorang membentuk suatu sikap yang kurang baik atau baik ke arah inovasi. 
Pengambilan keputusan, terjadi ketika seseorang terlibat dalam aktivitas yang mendorong kearah suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. 
Implementasi, terjadi ketika seseorang menggunakan suatu inovasi. 
Konfirmasi, terjadi ketika seseorang mencari penguatan mengenai suatu inovasi untuk menolak atau mengadopsi suatu inovasi. 
Penyuluhan Pertanian 


Menurut Tjondronegoro dalam Sastraatmaja (1993), penyuluhan adalah usaha pendidikan non formal yang merupakan perpaduan dari kegiatan menggugah minat atau keinginan, menimbulkan swadaya masyarakat, menyebarkan pengetahuan atau ketrampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan, dan pengetahuan).


Menurut Mardikanto (1996), penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan di luar sekolah yang tidak sekedar memberikan penerangan atau menjelaskan, tetapi biasanya untuk mengubah perilaku sasarannya agar memiliki pengetahuan yang luas. Disamping itu juga memiliki sifat progressif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (inovasi baru) serta terampil melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi peningkatan produktifitas, pendapatan atau keuntungan, maupun kesejahteraan keluarga dan masyarakat.


Penyuluhan pertanian dilaksanakan untuk menambah kesanggupan para petani dalam usahanya memperoleh hasil-hasil yang dapat memenuhi keinginan mereka tadi. Jadi penyuluhan pertanian tujuannya adalah perubahan perilaku (bertambahnya kesanggupan) keluarga-keluarga tani sasaran, sehingga mereka dapat memperbaiki cara bercocok tanamnya, lebih beruntung usahataninya dan lebih layak hidupnya, atau yang sering dikatakan keluarga tani maju itu. Bila keluarga tani itu maju, maka kaum taninya juga akan dinamis, yaitu tinggi reseptivitasnya dan penuh responsif terhadap hal-hal yang baru. Bila kum tani dinamis (dan kaum lainnya juga demikian), maka masyarakat luas akan besar kesadarannya untuk masalah-masalah sosial (Wiriaatmadja, 1973).


Kegiatan penyuluhan pertanian melibatkan dua kelompok yang aktif. Di satu pihak adalah kelompok penyuluh dan yang kedua adalah kelompok yang disuluh. Penyuluh adalah kelompok yang diharapkan mampu membawa sasaran penyuluhan pertanian kepada cita-cita yang telah digariskan. Sedangkan yang disuluh adalah kelompok yang diharapkan mampu menerima paket penyuluhan pertanian (Sastratmadja, 1993).


Menurut Kartasapoetra (1991), efektivitas penyuluhan yang dapat mencapai efisiensi dalam mewujudkan perubahan perilaku, tingkat kehidupan para petani di pedesaan, harus dilakukan sebagai berikut : 
Penarikan minat 


Isi penyuluhan pertanian hendaknya bersifat menarik, yang berhubungan langsung dengan kegiatan usahatani dan menarik minat agar dapat dimanfaatkan oleh petani. 
Mudah dan dapat dipercaya 


Apa yang disampaikan dalam penyuluhan pertanian (obyek atau materi) mudah dimengerti, nyata kegunaannya dan menarik kepercayaan para petani bahwa benar segala yang telah diperlihatkan, diperdengarkan (diajarkan) dapat dilakukan para petani dan benar-benar dapat meningkatkan hasil dan kesejahteraannya. 
Peragaan disertai sarananya 


Penyuluhan harus disertai dengan peragaan yang didukung dengan sarana atau alat-alat peraga yang mudah didapat, murah dan mudah dikerjakan oleh para petani apabila mereka terangsang mempraktekkannya. 
Saat dan tempatnya harus tepat 


Kegiatan penyuluhan kepada para petani tidak dapat dilakukan sembarang waktu terutama pada tingkat permulaan, pada tingkat-tingkat sebelum mereka terangsang, timbul kesadarannya. Para penyuluh harus pandai memperhitungkan kapan mereka itu bersantai atau ada dirumah, kapan biasanya mereka itu berkumpul dan dimana kebiasaan itu dilakukannya.


Dalam tujuan penyuluhan pertanian dibedakan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan penyuluhan pertanian jangka pendek yaitu untuk menumbuhkan perubahan-perubahan yang lebih terarah dalam kegiatan usaha tani petani di pedesaan. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah dalam bentuk pengetahuan, kecakapan, sikap, dan motif tindakan petani. Tujuan penyuluhan pertanian jangka panjang yaitu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tani, atau agar kesejahteraan hidup petani lebih terjamin (Samsudin, 1982).


Menurut Asngari dalam Ikbal Bahua (2007), penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Pambudi, menyatakan bahwa penyuluhan pertanian sangat penting dalam perannya sebagai jembatan bagi golongan ekonomi lemah. Penyuluhan diharapkan dapat menghasilkan sumberdaya produksi, modal kerja, prasarana pokok disamping layanan umum lain yang dibutuhkan golongan penduduk miskin agar dapat turut serta dalam kegiatan ekonomi. 
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) 


Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan bentuk sekolah yang seluruh proses belajar-mengajarnya dilakukan di lapangan, yang dilaksanakan di lahan petani peserta PTT dalam upaya peningkatan produksi padi nasional (Deptan, 2008).


Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi adalah pendekatan yang ditempuh dalam menerapkan teknologi budidaya padi yang spesifik lokasi (spesifik lokasi ditentukan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi) dengan mengintegrasikan berbagai komponen teknologi yang inovatif, dinamis, dan kompatibel untuk dapat memecahkan permasalahan setempat, sehingga timbul efek sinergis. Efek sinergis berarti efek komponen teknologi secara bersama-sama lebih besar dari penjumlahan efek teknologi secara individual. Karena lahan sawah mempunyai tingkat kesesuaian berbeda dan unsur yang menyebabkan perbedaan itu juga tidak sama, maka kombinasi komponen teknologi di satu lokasi dapat berbeda dengan lokasi lainnya (Makarim, et al, 2004).


Pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) adalah suatu inovasi dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani padi melalui perbaikan sistem dan pendekatan dalam perakitan paket teknologi, dinamisasi komponen teknologi padi yang memiliki efek sinergestik yang dilakukan secara partisipatif, dan bersifat dinamis. Paket teknologi PTT bersifat spesifik lokasi, sangat tergantung pada factor biofisik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat (Toha, 2005).


Menurut Kushartanti, et al (2007), anjuran teknologi dalam PTT adalah yang dihasilkan oleh lembaga penelitian dan teknologi berdasar kearifan lokal yang sudah terbukti unggul untuk lokasi tertentu. Alternatif teknologi yang dapat diterapkan sebagai berikut : 
Varietas unggul baru yang sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani (seperti daya hasil, cita rasa, umur, maupun ketahanan terhadap penyakit tertentu) untuk lokasi setempat 
Benih bermutu (kemurnian dan daya kecambah tinggi) 


Penggunaan benih bersertifikat dan benih vigor sangat disarankan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, (2) benih yang baik akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, (3) ketika ditanam pindah, bibit dari benih yang baik dapat tumubuh lebih cepat dan tegar, dan (4) dari benih yang baik akan diperoleh hasil tinggi. 
Bibit muda (< 21 Hari Setelah Tanam (HSS)) 


Benih yang tenggelam (berisi penuh) sebelum disebarkan di persemaian dibilas dulu agar tidak mengandung pupuk ZA, kemudian direndam selama 24 jam dan setelah itu ditiriskan setelah 48 jam. Bedengan pembibitan dibuat dengan lebar 1-2 m dan panjang disesuaikan dengan keadaan lahan seluas 400 m per ha. Luas bedengan ini cukup ditebari benih 25-30 kg. 
Jumlah bibit 1-3 batang per lubang dan sistem tanam jajar legowo 2:1, 4:1, 6:1 dan lainnya dengan populasi minimum 250.000/rumpun/Ha. 
Pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD) 


Cara menetukan waktu aplikasi pupuk N dengan menggunakan BWD dapat dilakukan dengan 2 cara : cara pertama adalah waktu pemberian pupuk berdasarkan nilai pembacaan BWD yang sebenarnya (real time), yaitu penggunaan BWD dimulai ketika tanaman 14 HST, kemudian secara periodik diulangi 7-10 hari sekali sampai diketahui nilai kritis saat pupuk N harus diaplikasikan.


Cara kedua adalah waktu tetap (fixed time), yaitu waktu pemupukan ditetapkan lebih dahulu berdasarkan tahap pertumbuhan tanaman, antara lain fase pada saat anakan aktif dan pembentukan malai atau saat primordia. 
Pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah, atau Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), petak omisi serta pemecahan masalah kesuburan tanah. 


Pupuk P diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar, bersamaan dengan pemupukan N pertama pada 0-14 HST. Pupuk K pada dosis rendah-sedang (< 50 kg KCL/Ha), seluruhnya diberikan sebagai pupuk dasar. Pupuk K pada dosis tinggi (100 kg KCL/Ha), 50 % diberikan sebagai pupuk dasar dan sisanya pada saat primordia. 
Bahan Organik (kompos jerami 5 ton/Ha atau pupuk kandang 2 ton/Ha) 


Bahan organik adalah bahan yang berasal dari limbah tanaman, kotoran hewan atau hasil pengomposan. Kegunaan bahan organik :


1) Meningkatkan kesuburan tanah dan kandungan karbon organik tanah


2) Memberikan tambahan hara


3) Meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroba)


4) Memperbaiki sifat fisik tanah


5) Mempertahankan perputaran unsur hara dalam sistem tanah tanaman 
Pengairan berselang 


Pengairan berselang adalah pengaturan lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian, bertujuan untuk:


1) Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas


2) Memberi kesempatan pada akar tanaman untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang labih dalam


3) Mencegah timbulnya keracunan besi


4) Mencegah timbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan perkembangan akar


5) Mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat, dan lain-lain. 
Pengendalian gulma secara terpadu 


Pengendalian gulma atau penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut gulma dengan tangan, menggunakan alat atau menggunakan herbisida. 
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT) 


Strategi pengendalian PHT, yaitu:


1) Gunakan varietas tahan hama dan penyakit


2) Tanam tanaman yang sehat


3) Pengamatan berkala di lapangan


4) Pemanfaatan musuh alami seperti pemangsa (predator), misalnya laba-laba


5) Pengendalian secara meknik, seperti menggunakan alat atau mengambil dengan tanah, menggunakan pagar, dan menggunakan perangkap.


6) Pengendalian secara fisik, seperti menggunakan lampu peragkap


7) Penggunaan pestisida hanya bila diperlukan dengan insektisida, fungisida atau molusida


Menurut AAK (1990), pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan cara biologis, yaitu pemberantasan hama yang dilakukan dengan menggunakan musuh alaminya, namun juga dilakukan dengan memperhatikan pengaturan air pada pertanaman padi. Cara fisik atau mekanik dengan mengumpulkan telur-telur hama yang belum menetas kemudian memusnahkannya. Cara kimiawi, yaitu cara pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan bahan-bahan kimiawi seperti insektisida atau fungisida. 
Panen beregu dan pasca panen menggunakan mesin perontok 


Panen dan pasca panen meliputi :


1) Panen dan pasca panen perlu ditangani secara tepat


2) Panen pada waktu yang tepat


a). Perhatikan umur tanaman, antara varietas yang satu dengan yang lainnya kemungkinan berbeda


b). Hitung sejak padi berbunga, biasanya panen dilakukan pada 30-35 hari setelah padi berbunga


c). Jika 95 % malai menguning segera panen


3) Panen dan perontokan


a). Gunakan alat sabit bergerigi atau mesin panen


b). Panen sebaiknya dilakukan secara serempak (kelompok pemanen 15-20 orang) yang dilengkapi dengan alat perontok


c). Potong pada bagian tengah atau atas rumpun bila dirontok dengan power thresher


d). Potong bagian bawah rumpun, jika perontokan dilakukan dengan pedal thresher


e). Gunakan tirai penutup dan alas agar gabah tidak hilang atau berserakan.


Menurut Catur (2002), kegiatan saat panen ditempuh dengan memperhatikan umur tanaman dan cara pemanenan. Dalam kegiatan panen sebaiknya menggunakan mesin pemanen (reaper) atau sabit bergerigi, karena dapat meningkatkan kapasitas pemanen dan menekan kehilangan hasil dibandingkan menggunakan sabit biasa. Jika padi akan dirontokkan dengan power threser maka sebaiknya tanaman padi dipotong pada bagian tengah, tetapi jika dirontokkan dengan menggunakan pedal threser maka sebaiknya tanaman padi dipotong pada bagian bawah. Dengan cara seperti ini maka dapat menekan kehilangan hasil sampai dibawah 5 %.


4) Pengeringan


Menurut Deptan (2004) penjemuran atau pengeringan gabah hasil panen merupakan cara untuk mencegah kerusakan gabah atau turunnya mutu gabah atau beras. Gabah hasil panen dikeringkan hingga mencapai kadar air maksimum 18 %. Pengeringan gabah dapat dilakukan dengan cara menjemur atau menggunakan alat pengering (dryer).


5) Pengggilingan dan penyimpanan.


Untuk memperoleh beras giling dengan mutu dan rendemen yang tinggi perlu diperhatikan aspek berikut : 
Gabah harus seragam dan bersih, dengan kadar air sekitar 14% 
Gabah yang telah disimpan di lumbung atau gudang dijemur dulu untuk menyeragamkan dan menurunkan kadar air sampai 12-14 %. 
Gabah yang baru dikeringkan diangin-anginkan untuk menekan butir pecah. 


Pengemasan dan pengangkutan, baik pada waktu pemanenan, perontokan, pembersihan, pengeringan dan penyimpanan, dianjurkan menggunakan karung goni atau plastik yang baik, tidak bocor, bersih, kuat dan bebas hama. Gudang atau lumbung penyimpanan memiliki sirkulasi udara, lantai dan dindingnya dalam kondisi baik (Deptan, 2004).


Sekolah lapang PTT tidak terikat dengan ruang kelas, sehingga belajar dapat dilakukan di saung atau gubug pertemuan petani dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan lahan belajar. Dalam kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) terdapat satu unit Laboratorium Lapang (LL) yang merupakan bagian dari kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) sebagai tempat bagi petani anggota kelompok tani dapat melaksanakan seluruh tahapan SLPTT pada lahan tersebut (Dinas Pertanian Sukoharjo, 2008).


Laboratorium Lapang (LL) seluas 1 ha adalah areal sawah yang terdapat dalam 25 ha yang merupakan kawasan SL – PTT yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, tempat belajar dan tempat praktek penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan bersama oleh kelompoktani atau petani. Dengan fasilitasi LL maka (SL-PTT) diharapkan betul-betul mampu menjadi suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan (Sugianto, 2008).


Tujuan utama SL-PTT adalah mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau narasumber lainnya. Nara sumber memberikan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang telah dikembangkan kepada pemandu lapang I (PL I) sebagai Traning of Master Trainer (TOMT). PL I terdiri atas penyuluh pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat propinsi yang telah dilatih di tingkat nasional (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi). Selanjutnya PL I menurunkan IPTEK tersebut kepada PL II yang terdiri atas penyuluh pertanian, POPT dan PBT tingkat Kabupaten atau Kota. Pelatihan bagi PL II diselenggarakan di tingkat propinsi dan materinya diberikan oleh nara sumber dan PL I. Pelatihan bagi pemandu lapang diselenggarakan di kabupaten atau kota. Peserta pelatihan adalah penyuluh pertanian, POPT dan PBT tingkat Kecamatan/desa. Materi pelatihan diberikan oleh nara sumber dan PL II (Deptan, 2008). 
Usahatani Padi 


Menurut Affandi (1977) tanaman Padi termasuk golongan tanaman setahun atau semusim. Bentuk batangnya bulat dan berongga, daunnya memanjang seperti pita yang terdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat pada ujung batang.


Bagian-bagian tanaman dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 2 bagian besar, yaitu: 
Bagian vegetatif, yang meliputi: akar, batang dan daun 
Bagian Generatif, yang meliputi: malai yang terdiri bulir-bulir daun dan bunga. 


Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan Gramineae, yang mana ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman-tanamannya anak-beranak. Bibit yang hanya sebatang saja ditanamkan dalam waktu yang sangat singkat telah membentuk satu dapuran, dimana terdapat 20-30 atau lebih anakan/tunas-tunas baru (Siregar, 1980).


Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm/bulan, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500-2000 mm. suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi 230C. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0-1500 m dpl (Amirullah, 2008).


Padi merupakan bahan makanan pokok sehari-hari pada kebanyakan penduduk di negara Indonesia. Padi dikenal sebagai sumber karbohidrat terutama pada bagian endosperm, bagian lain daripada padi umumnya dikenal dengan bahan baku industri, antara lain : minyak dari bagian kulit luar beras (katul), sekam sebagai bahan bakar atau bahan pembuat kertas dan pupuk, merang sebagai bahan media jamur atau bahan kertas dan bahan industri lain (Makfoeld, 1982).


Menurut Tjitropranoto dan Mahyuddin dalam Sukmana dan Mulyadi (1989) berasmerupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Ini termasuk salah satu strategik yang dapat menciptakan stabilitas ekonomi dan politik negara. Berbagai macam cara untuk meningkatkan produksi tanaman padi antara lain dengan meningkatkan fasilitas irigasi, meningkatkan penyediaan benih, pupuk, dan pestisida serta menciptakan berbagai kebijakan harga. Penelitian dan pengembangan kegiatan juga dilangsungkan untuk menghasilkan teknologi yang lebih baik dan adopsi oleh para petani. 
B. Kerangka Berpikir 


Pelaksanaan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) tahun 2008, selain dengan fasilitasi benih berlabel juga dengan kawalan penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT), yakni suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem atau pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi yang dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi (Dinas Pertanian Sukoharjo, 2008). Varietas unggul padi yang dibudidayakan dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah teruji kemampuannya meningkatkan produktivitas dan efisiensi input produksi (Deptan, 2008).


Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu bentuk inovasi yang perlu diadopsi oleh petani. Menurut Levis dalam Rachmawati (2007) adopsi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai sampai menerapkan. Sedangkan Mardikanto dan Sutarni (1982) menyatakan bahwa adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide atau alat teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati melalui tingkah laku, metode, maupun peralatan atau teknoiogi yang dipergunakan oleh para penerima pesan.


Dalam proses adopsi, seseorang tidak dapat dengan serta merta mengadopsi suatu inovasi. Banyak faktor yang dipertimbangkan oleh petani untuk dapat menerima sebuah inovasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam pengadopsian suatu inovasi antara lain sifat-sifat inovasi,yaitu : keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, triabilitas, observabilitas, selain sifat-sifat inovasi ada juga saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi, kegiatan promosi tentang PTT Padi dan jenis keputusan inovasi.


Dari uraian diatas, maka kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:






Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam PTT Padi :



1.Sifat-sifat inovasi


a. keuntungan relatif


b.kompatibilitas (kecocokan)


c. kompleksitas


d.triabilitas (dapat dicoba)


e. observabilitas (dapat diamati)


2.Saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi


3.Kegiatan promosi tentang PTT Padi


4.Jenis keputusan inovasi 






Peningkatan produktivitas padi 










Peningkatan kesejahteraan petani 






Gambar 1. kerangka pemikiran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi.


Keterangan : : Variabel yang diteliti


: Variabel yang tidak diteliti 
C. Hipotesis 
Hipotesis Mayor 


Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor–faktor yang mempengaruhi adopsi dengan tingkat adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. 
Hipotesis Minor 
Terdapat hubungan yang signifikan antara keuntungan relatif dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara kompatibiltas dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara kompleksitas dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara triabilitas dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara observabilitas dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara kegiatan promosi tentang PTT dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis keputusan inovasi dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
D. Definisi Operasional dan Pengkuran Variabel 
1. Definisi Operasional 
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi adalah berbagai faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengadopsi sesuatu yang baru disini yang diadopsi adalah komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), yang meliputi : 


1). Sifat-sifat Inovasi adalah karakteristik yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi terhadap komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT),yang terdiri dari :


a). Keuntungan relatif


Yaitu tingkatan dimana suatu ide yang baru yang disini adalah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dianggap lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya, dinyatakan dengan skala ordinal.


b). Kompatibilitas/keselarasan


Kompatibilitas adalah tingkat kesesuaian penerapan komponen PTT dengan kondisi petani setempat yang telah ada, dilihat dari kondisi lahan, ekonomi, maupun norma-norma yang ada pada lingkungan petani mengenai kegiatan berusaha tani. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.


c). Kompleksitas/Kerumitan


Kompleksitas adalah tingkat kesukaran untuk memahami dan menerapkan komponen PTT bagi petani yang dinyatakan dengan skala ordinal.


d). Triabilitas


Triabilitas adalah dapat dicoba atau tidaknya komponen PTT oleh penerima atau petani yang dinyatakan dengan skala ordinal.


e). Observabilitas


Inovasi baru akan lebih mudah diadopsi manakala pengaruhnya atau hasilnya mudah atau cepat dapat dilihat atau dapat diamati oleh petani yang dinyatakan dengan skala ordinal.


2). Saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi


Adalah jenis saluran komunikasi yang digunakan oleh penyelenggara program untuk memberikan informasi tentang PTT dan yang digunakan oleh petani untuk mengakses informasi tentang PTT. Diukur dengan mengunakan skala ordinal.


3). Kegiatan promosi tentang PTT padi


Adalah frekuensi kegiatan promosi tentang PTT yang dilakukan oleh penyelenggara program, misalnya penyuluh atau pemandu lapang mempromosikan kegiatan PTT pada saat ada pertemuan kelompok tani sehingga bisa menjangkau seluruh anggota kelompok tani. Diukur dengan mengunakan skala ordinal.


4). Jenis keputusan Inovasi


Adalah jenis keputusan yang diambil oleh petani untuk mengadopsi komponen PTT, diukur dengan mengunakan skala ordinal. 
Tingkat adopsi pengelolaan tanaman terpadu padi 


1). Varietas unggul adalah varietas yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu, misalnya tahan terhadap serangan hama dan penyakit, dengan indikator :


Petani menggunakan varietas unggul 
Sesuai dengan rekomendasi Skor 3 
Kurang sesuai dengan rekomendasi Skor 2 
Tidak sesuai dengan rekomendasi Skor 1 


2). Benih bermutu adalah tingkat penerapan benih bermutu oleh petani, dengan indikator :


Petani menggunakan benih bermutu, misalnya benih yang vigor atau bersertifikat 
Sesuai dengan rekomendasi Skor 3 
Kurang sesuai dengan rekomendasi Skor 2 
Tidak sesuai dengan rekomendasi Skor 1 


3). Bibit muda adalah bibit yang berumur 15-20 Hari setelah tanam (HST), indikatornya adalah waktu penanaman, dengan indikator :


a) Petani menggunakan bibit muda 
Sesuai rekomendasi 15-20 HST Skor 3 
Kurang sesuai rekomendasi <15 HST Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi >20HST Skor 1 


b) Petani melakukan perlakuan terhadap bibitnya sebelum disebar ke lahan yaitu, dengan dibilas agar tidak mengandung pupuk ZA kemudian direndam selama 24 jam dan ditiriskan selama 48 jam. Tujuan dari perlakuan tersebut untuk mendapatkan bibit dan pertumbuhan tanaman yang baik 
Sesuai rekomendasi Skor 3 
Kurang sesuai rekomendasi Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi Skor 1 


4). Jumlah bibit dan sistem tanam adalah jumlah bibit yang ditanam per rumpun yang jumlahnya tidak lebih dari 3 bibit dan sistem tanam yang digunakan dalam usahatani padi, dengan indikator :


a) Jumlah bibit pada saat tanam per rumpun/lubang tidak lebih dari 3 
Sesuai rekomendasi 3 bibit/lubang Skor 3 
Kurang sesuai rekomendasi < 3 bibit/lubang Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi > 3 bibit/lubang Skor 1 


b) Penggunaan sistem tanam oleh petani dalam usaha taninya, yaitu dengan memperhatikan jarak antar baris tanaman 
Sesuai rekomendasi Skor 3 
Kurang sesuai rekomendasi Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi Skor 1 


5). Pemeliharaan adalah kegiatan pemeliharaan tanaman padi yang meliputi kegiatan pemupukan N, pemupukan P dan K, penggunaan bahan organik, pengairan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama dan penyakit Terpadu (PHT), dengan indikator :


a) Petani melakukan pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD), yaitu dengan mengukur tingkat kehijauan warna daun padi 
Sesuai rekomendasi Skor 3 
Kurang sesuai rekomendasi Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi Skor 1 


b) Petani memberikan pupuk P dan K sesuai dengan dosis yang dianjurkan 
Sesuai rekomendasi, 100 Kg/Ha Skor 3 
Kurang sesuai rekomendasi, > 100 Kg/Ha Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi, < 100Kg/Ha Skor 1 


c) Petani memberikan bahan organik untuk tanamannya, bahan organik adalah bahan yang berasal dari limbah tanaman, kotoran hewan atau hasil pengomposan 
Sesuai rekomendasi, jerami 5 ton/Ha dan pupuk kandang 2 ton/Ha Skor 3 
Kurang sesuai rekomendai, jerami > 5 ton/Ha dan pupuk kandang > 2 ton/Ha Skor 2 
Tidak sesuai rekomendasi, jerami < 5 ton/Ha dan pupuk kandang < 2 ton/Ha Skor 1 


d) Petani melakukan pengairan berselang yaitu, pengaturan lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian 
Sesuai anjuran Skor 3 
Kurang sesuai anjuran Skor 2 
Tidak sesuai anjuran Skor 1 


e) Petani melakukan pengendalian gulma dengan cara ramah lingkungan , misalnya dengan cara dicabuti, digasrok atau dengan sedikit menggunakan bahan kimia 
Sesuai anjuran Skor 3 
Kurang sesuai anjuran Skor 2 
Tidak sesuai anjuran Skor 1 


f) Petani melakukan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, misalnya dengan menggunakan musuh alami 
Sesuai anjuran Skor 3 
Kurang sesuai anjuran Skor 2 
Tidak sesuai anjuran Skor 1 


6). Panen dan pasca panen adalah kegiatan panen yang dilakukan oleh petani dalam usahataninya dan tindakan setelah panen,dengan indikator :


a) Waktu panen dilakukan antara 30-35 hari setelah padi berbunga 
Sesuai anjuran, pada umur 30-35 hari setelah padi berbunga 


Skor 3 
Kurang sesuai anjuran, pada umur > 30-35 hari setelah padi berbunga Skor 2 
Tidak sesuai anjuran, pada umur < 30-35 hari setelah padi berbunga Skor 1 


b) Petani melakukan pengolahan pasca panen 
Sesuai anjuran Skor 3 
Kurang sesuai anjuran Skor 2 
Tidak sesuai anjuran Skor 1 
2. Pengukuran Variabel 
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani 


Tabel 1. Pengukuran variabel faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi



No 

Variabel 

Indikator 

Kriteria 

Skor 


1



2


3



Sifat-sifat inovasi



Saluran komunikasi


Kegiatan promosi


Jenis keputusan 
Keuntungan relatif 


Keuntungan yang diperoleh saat menerapkan komponnen PTT


b. Kompatibilitas


kesesuaian dengan kebutuhan petani 
Kompleksitas 


Tingkat kerumitan dalam kegiatan SLPTT


d. Triabilitas


kemudahan dalam mencoba setiap komponen yang ada dalam SLPTT 
Observabilitas 


Tingkat kemudahan untuk diamati


Jenis saluran komunikasi yang digunakan oleh penyelenggara program untuk memberikan info tentang PTTdan yang digunakan petani untuk mengakses info tentang PTT


Frekuensi kegiatan promosi yang dilakukan oleh penyelenggara program


Jenis keputusan yang diambil oleh petani untuk mengadopsi komponen PTT 
Tinggi (jika relatif lebih banyak memberikan keuntungan setelah petani menerapkan komponen PTT) 
Sedang (Jika relatif cukup memberikan keuntungan setelah petani menerapkan komponen PTT ) 
Rendah (jika relatif sedikit memberikan keuntungan setelah petani menerapkan komponen PTT) 
Tinggi (jika penerapan komponen PTT sesuai dengan kebutuhan petani) 
Sedang (jika penerapan komponen PTT kurang sesuai dengan kebutuhan petani) 
Rendah (jika penerapan komponen PTT tidak sesuai dengan kebutuhan petani) 
Tinggi (jika semua komponen PTT dianggap mudah) 
Sedang (jika hanya sebagian komponen PTT yang dianggap rumit) 
Rendah (jika semua komponen PTT dianggap rumit) 
Tinggi (jika semua komponen PTT dapat dicoba) 
Sedang (jika sebagian komponen saja yang dapat dicoba) 
Rendah (jika semua komponen PTT tidak dapat dicoba) 
Tinggi (jika semua komponen PTT mudah untuk diamati) 
Sedang (jika sebagian besar komponen PTT saja yang dapat diamati) 
Rendah (jika sebagian kecil komponen PTT tidak mudah diamati) 
Tinggi : Saluran komunikasi inter personal dan media massa 
Sedang : Saluran komunikasi interpersonal 
Rendah : Saluran komunikasi media massa 
Tinggi : frekuensi penyuluh atau penyelenggara program dalam mempromosikan PTT sering ( jika 1 bulan ± 4 kali) 
Sedang : frekuensi penyuluh atau penyelenggara program dalam mempromosikan PTT kadang-kadang (jika dalam 1 bulan kurang dari 4 kali) 
Rendah : penyuluh atau penyelenggara program tidak mempromosikan PTT kepada petani 
Tinggi: jika keputusannya merupakan keputusan individual 
Sedang : jika keputusannya merupakan keputusan kontingen/kelompok 
Rendah : jika keputusannya merupakan keputusan otoritas 

3



2


1


3


2


1


3


2


1


3


2


1


3


2


1


3


2


1


3


2


1


3


2






E. Pembatasan Masalah 
Lokasi yang digunakan penelitian adalah Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 
Petani yang menjadi sampel adalah petani yang mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi sawah pada tahun 2008. 
III. METODE PENELITIAN 



A. Metode Dasar Penelitian 


Metode dasar penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988).


Penelitian ini menggunakan teknik survei, yang menurut Singarimbun dan Effendi (1995) merupakan teknik penelitian dengan cara mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data terhadap suatu persoalan tertentu di dalam suatu daerah tertentu. 
B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian 


Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), merupakan metode pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995). Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo dengan pertimbangan bahwa kecamatan Sukoharjo merupakan salah satu kecamatan yang melaksanakan kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. 
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel 
1. Metode Penentuan Populasi 


Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo yang dilaksanakan pada tahun 2008 dan berlangsung dari bulan April sampai dengan bulan Juli. 
Penentuan Sampel 


Jumlah populasi petani yang mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) adalah 350 petani, terbagi dalam 14 kelompok tani untuk masing-masing kelompok tani terdiri dari 25 petani. Pengambilan sampel untuk masing-masing kelompok tani dalam penelitian ini dilakukan secara proportional sampling yaitu cara pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub-sub populasi (Narbuko dan Achmadi, 2004). Adapun sampel yang yang diambil dari setiap kelompok tani menggunakan rumus sebagai berikut :


dimana :


ni : Jumlah sampel dari masing-masing kelompok tani


nk : Jumlah sampel dari masing-masing kelompok tani yang memenuhi syarat


N : Jumlah keseluruhan sampel yang memenuhi sebagai sampel


n : Jumlah sampel yang diambil


Tabel 2 Jumlah sampel petani



No 

Nama Desa 

Kelompok Tani 

Jumlah Petani SLPTT (Orang) 

Jumlah sampel (Orang) 



Dukuh 

Ngudi mulyo 

25 




Sonorejo 

Sri makmur 

25 




Bulak rejo 

Agung rejeki 

25 




Sukoharjo 

Makaryo tani 

25 




Combongan 

Tani makmur 

25 




Kriwen 

Karyo tani 

25 




Bulakan 

Dewi sri 

25 




Banmati 

Sumber pangan 

25 




Kenep 

Makaryo tani 

25 



10 

Jetis 

Sri mulyo 

25 



11 

Gayam 

Sri rejeki 

25 



12 

Begajah 

Ngudi bogo 

25 



13 

Mandoh 

Taru baduyo 

25 



14 

Joho 

Karyo makmur 

25 



Jumlah 

350 

56 



Sumber : KCD Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo


Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling yaitu suatu metode dimana semua anggota sampel dianggap memiliki karakteristik yang sama sehingga siapapun yang diambil dapat mewakili populasinya (Mardikanto, 2001). 
D. Jenis dan Sumber Data 
Data Primer 


Data primer yaitu, data yang diperoleh secara langsung dari responden dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner. Data primer meliput : data mengenai pendidikan, biaya produksi, pendapatan, dan lain-lain. 
Data Sekunder 


Data sekunder yaitu, data yang dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder, meliputi : monografi Kecamatan Sukoharjo, data kelompok tani yang mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. 
E. Metode Pengumpulan Data 


Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut : 
Wawancara 


Menurut Nazir (1988) yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara). 
Observasi 


Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada alat pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir, 1988). 
Pencatatan 


Pencatatan yaitu mencatat sumber-sumber informasi dari pustaka maupun instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, seperti pedoman petunjuk pelaksanaan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi. 
F. Metode Analisis Data 


Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi dikategorikan dalam tiga tingkat, yaitu : tinggi, sedang dan tinggi. Untuk mengukur kategori tersebut digunakan rumus interval sebagai berikut:


Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dengan tingkat adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo digunakan uji korelasi rank spearman(rs) dalam buku karangan Siegel (1997) dengan rumus sebagai berikut :


Dimana : rs = koefisien korelasi rank spearman


N = banyaknya sampel


di = selisih antara ranking dari variabel


Untuk menguji tingkat signifikansi rs, digunakan rumus:


Dimana : N = Jumlah Sampel


: rs = Koefisien rank spearman


Kriteria pengambilan keputusan pada taraf kepercayaan 95 %


– Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dengan tingkat adopsi petani terhadap Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo.


– Jika t hitung ≤ t tabel maka Ho diterima, berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dengan tingkat adopsi petani terhadap Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo.


IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN






A. Keadaan Umum Wilayah 
Letak Geografis 


Kecamatan Sukoharjo merupakan salah satu kecamatan dari 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo. Kecamatan Sukoharjo terbagi dalam 14 kelurahan. Jarak pusat pemerintahan dengan desa atau kelurahan terjauh yaitu 6 kilometer, sedangkan jarak antara pusat pemerintahan dengan ibu kota kabupaten 2 kilometer dan jarak pusat pemerintahan dengan ibu kota propinsi yaitu 115 kilometer. Luas kecamatan Sukoharjo secara keseluruhan adalah 4.458 hektar. Secara administrasi dan alamiah batas-batas wilayah Kecamatan Sukoharjo adalah:


Sebelah timur : Kecamatan Bendosari


Sebelah Selatan : Kecamatan Nguter


Sebelah Barat : Kecamatan Juwiring (Kab. Klaten)


Sebelah Utara : Kecamatan Grogol


(Monografi Kecamatan Sukoharjo, 2009) 
Keadaan Iklim dan Topografi 


Berdasarkan data, Kecamatan Sukoharjo terletak pada ketinggian 100 meter diatas permukaan laut dengan bentuk wilayah 100% datar sampai berombak. Suhu maximum di Kecamatan Sukoharjo yaitu 320C dan suhu minimumnya 180C. Kecamatan Sukoharjo memiliki jumlah hari hujan 108 hari dengan banyaknya curah hujan 1833 mm/th (Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sukoharjo, 2009). Berdasarkan banyaknya curah hujan sebesar 1833 maka di kecamatan Sukoharjo cocok untuk budidaya padi dengan menerapkan komponen PTT karena ketersediaan air tercukupi untuk pengairan tanaman padi. 
Penggunaan Tanah dan Pengairan 


Tabel 3. Penggunaan tanah di Kecamatan Sukoharjo



No 

Penggunaan Tanah 

Luas (Ha) 

Prosentase (%) 


1.



2.


3. 

Tanah sawah



– Sawah teknis


Tanah bukan sawah


– Tegal


– Pekarangan


– Kolam


Lain-lain 

2.367



75


1.582


26


408 

53,10



1,68


35,49


0,58


9,15 


Jumlah 

4.458 

100,00 



Sumber : BPP Kecamatan Sukoharjo tahun 2009


Penggunaan tanah sawah teknis di Kecamatan Sukoharjo menduduki presentase terbesar yaitu 53,1 % atau dengan luas 2.367 hektar, hal ini disebabkan mayoritas petani mengusahakan lahannya untuk menanam padi sawah. Lahan sawah di Kecamatan Sukoharjo memiliki sifat teknis yaitu pengairan disuplai dari waduk Gajah Mungkur sehingga petani di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo dapat menanam padi sebanyak 3 kali selama 1 tahun.


B. Keadaan Penduduk 
Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur 


Penduduk merupakan salah satu potensi sumber daya dari suatu daerah, terutama berhubungan dengan faktor tenaga kerja. Tersedianya tenaga kerja yang besar merupakan peluang bagi pengembangan berbagai macam usaha. Komposisi penduduk berdasarkan umur di Kecamatan Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 4.


Tabel 4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur di Kecamatan Sukoharjo Tahun 2009



No 

Umur (tahun) 

Distribusi 


Jumlah (Jiwa) 

Prosentase (%) 


1.



2.


3. 

0 – 14



15 – 59


> 60 

27.007



51.986


5.851 

31,83



61,27


6,90 


Jumlah 

84.844 

100,00 



Sumber: Monografi Kecamatan Sukoharjo Tahun 2009


Distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur dapat digunakan untuk menghitung Angka Beban Tanggungan (ABT). Merujuk tabel 4 dapat dilihat besarnya jumlah penduduk di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo tergolong dalam usia produktif (15-59 tahun) adalah sebesar 51.986 (61,27 %) dari keseluruhan jumlah penduduk. Penduduk yang tergolong dalam usia non produktif (0-14 tahun dan > 60 tahun) adalah sebesar 27.007 jiwa atau 31,83 % dan 5.851 (6,9 %). Sedangkan menurut Mantra (2003), penduduk umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok penduduk belum produktif, kelompok penduduk umur 15-64 tahun sebagai kelompok produktif dan kelompok umur 65 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk yang tidak lagi produktif. Dari data jumlah penduduk usia produktif dan non produktif dapat dihitung ABTnya yaitu perbandingan antara jumlah penduduk usia non produktif dengan jumlah penduduk usia produktif, dengan rumus sebagai berikut:


ABT =


=


= 63,21 %


Dari perhitungan diatas diperoleh nilai ABT sebesar 63,21 % artinya setiap 100 orang penduduk berusia produktif menanggung 63 penduduk yang tidak produktif. ABT di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo termasuk tinggi. Menurut Mantra (2003) tingginya ABT merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi, karena sebagian dari pendapatan yang diperoleh oleh golongan produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif atau sudah tidak produktif. 
Keadaan Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin 


Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 5.


Tabel 5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Sukoharjo tahun 2009



No 

Umur (thn) 

Distribusi 


Jumlah (Jiwa) 

Prosentase (%) 


1.



2. 

Laki-laki



Perempuan 

42.176



42.668 

49,71



50,29 


Jumlah 

84.844 

100,00 



Sumber: Monografi Kecamatan Sukoharjo tahun 2009


Keadaan penduduk berdasarkan jenis kelamin digunakan untuk mengetahui ratio jenis kelamin (sex ratio) yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan yang dinyatakan dengan rumus :


SR =


SR =


SR = 98,85 %


Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan relatif seimbang (42.175 jiwa) daripada penduduk laki-laki (41.525 jiwa). Sex ratio penduduk sebesar 98,85 % artinya tiap 100 orang penduduk perempuan terdapat kurang lebih 99 orang penduduk laki-laki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo jumlah penduduk perempuan relatif seimbang dengan jumlah penduduk laki-laki.


Apabila angka SR (sex ratio) jauh di bawah 100, dapat menimbulkan berbagai masalah, karena ini berarti di wilayah tersebut kekurangan penduduk laki-laki akibatnya antara lain kekurangan tenaga kerja laki-laki untuk melaksanakan pembangunan, atau masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini dapat terjadi apabila suatu daerah banyak penduduk laki-laki meninggalkan daerah atau kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki (Mantra, 2003). 
Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian 


Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah menunjukkan struktur perekonomian yang ada pada suatu wilayah tersebut. Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo bersifat heterogen. Untuk lebih jelasnya, distribusi penduduk menurut mata pencaharian di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 6.


Tabel 6. Distibusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kecamatan Sukoharjo tahun 2009



No 

Mata Pencaharian 

Distribusi 


Jumlah (Jiwa) 

Prosentase (%) 


1.



2.


3.


4.


5.


6.


7. 

Petani & buruh tani



PNS & ABRI


Pengusaha


Transportasi


Buruh industri & bangunan


Pedagang


Pensiunan (PNS & ABRI) 

14.749



2.624


932


2.080


11.950


2.741


1.438 

40,39



7,19


2,55


5,70


32,73


7,51


3,93 


Jumlah 

36.514 

100,00 



Sumber: Monografi Kecamatan Sukoharjo tahun 2009


Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa penduduk di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo paling banyak bermata pencaharian di sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani dengan jumlah 14.749 orang (40,39 %). Mata pencaharian yang paling sedikit dijumpai di Kecamatan Sukoharjo adalah sebagai pengusaha yaitu sebanyak 932 orang (2,55 %). Tingginya jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani menunjukkan bahwa Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo merupakan daerah agraris. Hal ini, juga didukung dengan kondisi alam di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo yang cocok untuk kegiatan pertanian, misalnya hamparan sawah yang masih luas dan kondisi tanah yang cocok untuk pertanian selain itu suplai air yang cukup dari curah hujan maupun dari waduk. 
4. Keadaan Pe­nduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 


Pendidikan merupakan faktor penting dalam menunjang kelancaran pembangunan. Masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan mudah untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga akan memperlancar proses pembangunan. Sebaliknya masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga dalam hal ini akan mempersulit pembangunan. Jadi tingkat pendidikan digunakan sebagai parameter kemampuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu wilayah. Orang yang berpendidikan cenderung berpikir lebih rasional dan umumnya cenderung menerima adanya pembaharuan. Distribusi penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya disajikan pada tabel 7.


Tabel 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan



No 

Tingkat Pendidikan 

Distribusi 


Jumlah (Jiwa) 

Prosentase (%) 


1.



2.


3.


4.


5.


6. 

Belum tamat SD



Tidak tamat SD


Tamat SD


Tamat SLTP


Tamat SLTA


Tamat Akademi/PT 

7.880



14.454


15.858


11.671


11.916


3.418 

12,09



22,17


24,32


17,90


18,28


5,24 


Jumlah 

65.197 

100,00 



Sumber: Monografi Kecamatan Sukoharjo Tahun 2009


Berdasarkan tabel 7. dapat diketahui bahwa penduduk Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo sebagian besar tingkat pendidikannya tamat sekolah dasar yaitu 15.858 (24,32 %). Tingkat pendidikan penduduk yang paling sedikit adalah tamat akademi atau perguruan tinggi yaitu sebanyak 3.418 (5,24 %).


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo sebagian besar tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Sehingga berdampak pada pembangunan daerah kurang bisa berkembang dan penduduk akan sulit menerima inovasi baru. Selain itu kesadaran akan pentingnya pendidikan masih kurang khususnya pada penduduk yang tinggal jauh dari kota Kecamatan dikarenakan informasi dan pengetahuan tentang pendidikan terbatas.


C. Keadaan Pertanian


Sektor pertanian merupakan tumpuan perekonomian di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo sebab sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak dan merupakan penyumbang pendapatan utama bagi penduduk di Kecamatan Sukoharjo Selain itu kegiatan pertanian mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.


Ketersediaan pangan tidak terlapas dari jenis komoditi tanaman yang ditanam oleh para petani di Kecamatan Sukoharjo kabupaten Sukoharjo. Alokasi lahan usahatani untuk luas tanaman yang diusahakan dapat disajikan dalam tabel 8.


Tabel 8. Luas dan produksi tanaman utama di Kecamatan Sukoharjo tahun 2009



No 

Komoditas 

Luas Tanaman (Ha) 

Luas yang dipanen (Ha) 

Rata-rata produksi Per Ha (Kw) 


1



2


3


4


5



Padi



Jagung


Ketela Pohon


Ketela Rambat


Kacang Tanah


Kedelai 

167.625



8


3


36




– 

48



8




36




– 

125



6




8




– 



Sumber: Monografi Kecamatan Sukoharjo 2009


Berdasarkan tabel 8. dapat diketahui bahwa tanaman pangan yang diproduksi di Kecamatan Sukoharjo meliputi padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah dan kedelai. Luas tanaman pangan yang paling banyak adalah tanaman padi yaitu sebesar 167.625 hektar dengan luas panen 48 hektar. Produksi rata-rata tanaman padi adalah 125 kwintal/hektar. Besarnya luas tanaman padi dikarenakan mayoritas penduduk di Kecamatan Sukoharjo membudidayakan tanaman padi untuk menopang kehidupannya. 
D. Keadaan Sarana Perekonomian 


Sarana dan prasarana perekonomian yang ada mempunyai peranan penting dalam menunjang kegiatan ekonomi dari suatu wilayah. Sarana dan prasarana perekonomiam yang ada di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 9.


Tabel 9. Sarana perekonomian yang ada di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo



No 

Sarana Perekonomian 

Jumlah 


1



2


3


4


5


6


7



Koperasi Simpan Pinjam



Koperasi Unit Desa (KUD)


Badan Kredit


Pasar


Pasar Hewan


Pasar umum


Toko/ Kios/ Warung


Lumbung Desa 

17



7


29


5


1


1


708





Sumber: Monografi Kecamatan Sukoharjo Tahun 2009


Berdasarkan tabel 9. diketahui bahwa sarana perekonomian yang ada di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo antara lain : koperasi simpan pinjam, koperasi unit desa, badan kredit, pasar, pasar hewan, pasar umum, toko/ kios/ warung dan lumbung desa. Sarana perekonomian yang ada diharapkan dapat membantu penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain itu juga dapat memenuhi kebutuhan sarana produksi dan pemasaran hasil produksi. Sarana perekonomian yang banyak di jumpai di Kecamatan Sukoharjo adalah toko, kios atau warung yaitu sebanyak 708 buah. Hal ini menunjukkan bahwa banyak penduduk di kecamatan Sukoharjo yang membuka usaha sendiri berupa toko, kios maupun warung.























V. HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Identitas Responden 
Umur 


Responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2 yaitu, kelompok umur produktif yaitu umur kurang dari 65 tahun dan kelompok umur non produktif yaitu umur ≥ 65 tahun. Distribusi berdasarkan umur responden ini disajikan dalam tabel 10.


Tabel 10. Identitas responden berdasarkan umur



No 

Umur (tahun) 

Distribusi 


Jumlah (orang) 

Prosentase (%) 


1.



2. 

< 65



≥ 65 

43



13 

76,79



23,21 


Jumlah 

56 

100,00 



Sumber :Analisis Data Primer 2009


Berdasarkan tabel 10. dapat dilihat bahwa petani yang mengikuti kegiatan SLPTT padi sebagian besar (76,79%) tergolong petani dalam usia produktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden yang tergolong dalam usia produktif mempunyai kemampuan fisik yang optimal dan memiliki respon yang baik dalam menerima hal-hal yang baru untuk perbaikan usahataninya. Ada responden yang tergolong dalam usia non produktif (23,21%) namun masih mengikuti kegiatan SLPTT karena masih memiliki kemampuan untuk mengelola lahannya dengan baik. Selain itu, petani yang berusia non produktif dapat memberikan semangat dan contoh yang baik kepada petani yang berusia produktif untuk menerapkan komponen PTT secara baik. 
Pendidikan 


Pendidikan formal responden merupakan jenjang sekolah yang ditempuh oleh responden yang diperhitungkan dari sistem pendidikan sekolah yang telah berhasil ditamatkan oleh responden. Identitas responden berdasarkan tingkat pendidikan ini disajikan dalam Tabel 11.


Tabel 11. Identitas responden berdasarkan tingkat pendidikan



No 

Tingkat Pendidikan 

Distribusi 


Jumlah (orang) 

Prosentase (%) 


1.



2.


3.


4.


5. 

Tidak Sekolah



SD


SMP


SMA


Perguruan Tinggi (PT) 

1



13


9


25



1,79



23,21


16,07


44,64


14,29 


Jumlah 

56 

100,00 



Sumber :Analisis Data Primer 2009


Berdasarkan tabel 11, sebanyak 25 responden (44,64 %) menempuh pendidikan SMA. Dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh responden cukup baik karena sebagian besar responden menyelesaikan pendidikan sampai dengan jenjang SMA, hal ini berarti responden sadar pentingnya pendidikan bagi kehidupannya, selain itu program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah telah dipatuhi oleh responden. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh petani responden semakin mudah pula penyuluh dalam mempengaruhi petani untuk menerapkan komponen PTT. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya petani yang menerapkan komponen PTT di kecamatan Sukoharjo yang tingkat pendidikannya SMA. 
Luas Lahan 


Luas lahan merupakan kepemilikan lahan oleh petani yang digunakan untuk usahatani padi yang biasanya dinyatakan dalam hektar (Ha). Identitas responden berdasarkan luas lahan dapat dilihat dalam tabel 12.


Tabel 12. Identitas responden berdasarkan luas lahan



No 

Luas lahan (hektar) 

Distribusi 


Jumlah (orang) 

Prosentase (%) 


1.



2.


3. 

< 0,5 Ha



0,5-2 Ha


>2 Ha 

26



30



46,43



53,57


0,00 


Jumlah 

56 

100,00 



Sumber :Analisis Data Primer 2009


Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden tergolong dalam golongan petani sedang dengan luas lahan antara 0,5-2 hektar. Petani dengan luas lahan sedang dapat memanfaatkan lahannya dengan baik untuk menerapkan komponen PTT. Petani dengan luas lahan yang sedang dapat menerapkan komponen PTT secara maksimal. 
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Petani dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) 


Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) diukur dari : (1) sifat-sifat inovasi, (2) saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT, (3) kegiatan promosi tentang PTT padi, (4) jenis keputusan inovasi. Faktor-faktor ini dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Distribusi dari faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi tersebut dapat dilihat dalam Tabel 13.


Tabel 13. Distribusi responden berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam PTT



No 

Uraian 

Kriteria 

Skor 

Jumlah (orang ) 

Prosentase (%) 



Sifat-sifat inovasi 

Tinggi



Sedang


Rendah 

41-51



29-40


17-28 

56



0



100,0



0,0


0,0 



Saluran komunikasi 

Tinggi



Sedang


Rendah 

3



2



32



23



57,1



41,1


1,8 



Kegiatan promosi 

Tinggi



Sedang


Rendah 

9



6-8


3-5 

50



6



89,3



10,7


0,0 



Jenis keputusan 

Tinggi



Sedang


Rendah 

9



6-8


3-5 

7



49



12,5



87,5


0,0 


Jumlah 

56 

100,0 



Sumber: Analisis Data Primer 2009. 
Sifat-sifat Inovasi 


Sifat inovasi merupakan karakteristik yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi petani terhadap inovasi baru, inovasi baru disini yaitu berupa komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Berdasarkan tabel 13, dapat diketahui bahwa seluruh responden atau 56 petani responden (100 %) menilai sifat inovasi dalam kategori tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari komponen PTT dapat dicoba oleh petani, sebagian komponen PTT juga tidak dianggap rumit oleh petani responden, selain itu komponen PTT dianggap sudah sesuai dengan kondisi petani sehingga tingkat adopsi petani terhadap komponen PTT tinggi. Sifat inovasi ini meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas (tingkat kesesuaian), kompleksitas (tingkat kerumitan), triabilitas (dapat dicoba), dan observabilitas (dapat diamati). 
Saluran Komunikasi 


Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), saluran komunikasi yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarkan suatu inovasi dan bisa juga mempunyai pengaruh terhadap kecepatan pengadopsian inovasi. Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa mayoritas petani atau 32 petani responden (57,1%) menggunakan berbagai jenis saluran komunikasi dalam mengakses informasi mengenai komponen PTT. Saluran komunikasi yang digunakan petani responden tergolong tinggi. Hal tersebut dikarenakan petani memperoleh informasi tentang komponen PTT dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) secara langsung atau tatap muka dalam pertemuan kelompok. Selain informasi dari PPL petani responden juga memperoleh informasi mengenai komponen PTT dari media massa maupun dari sesama petani lainnya. 
Kegiatan Promosi Tentang PTT Padi 


Kegiatan promosi merupakan frekuensi promosi yang dilakukan oleh agen pembaharu (penyuluh) setempat dan atau pihak-pihak lain yang berkompeten dengan adopsi inovasi (Mardikanto dan Sutarni, 1983). Berdasarkan pada tabel 13, dapat diketahui bahwa sebanyak 50 responden (89,3%) menilai bahwa frekuensi penyuluh atau pemandu lapang dalam mempromosikan komponen PTT tergolong sering (tinggi). Hal tersebut dikarenakan seringnya Petugas Penyuluh Lapang atau pemandu lapang memberikan informasi tentang PTT kepada petani sehingga petani responden menjadi tertarik untuk menerapkan komponen PTT dalam usahatani padinya. 
Jenis Keputusan Inovasi 


Jenis keputusan merupakan jenis keputusan yang diambil oleh petani untuk menerapkan komponen PTT. Jenis keputusan tersebut dapat berupa keputusan secara individu, kelompok (kontingen) maupun keputusan otoritas atau keputusan yang dipaksakan oleh atasan. Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak 49 responden (87,5%) atau sedang menilai bahwa petani responden memutuskan untuk menerapkan komponen PTT karena dipengaruhi oleh kelompoknya. Hal tersebut dikarenakan kelompok sangat penting dan berpengaruh terhadap petani, petani responden menganggap bahwa secara berkelompok masalah yang muncul lebih mudah untuk diatasi secara bersama-sama. 
C. Tingkat Adopsi PTT Padi 


Tingkat adopsi petani terhadap Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) berupa tingkat adopsi atau penerapan terhadap (1) varietas unggul, (2) benih bermutu, (3) bibit muda, (4) jumlah bibit dan sistem tanam, (5) pemeliharaan, dan (6) panen dan pasca panen. Distribusi dari tingkat adopsi petani terhadap PTT padi dapat dilihat pada tabel 14.


Tabel 14. Distribusi responden berdasarkan tingkat adopsi terhadap PTT padi



No 

Uraian 

Kriteria 

Skor 

Jumlah (orang ) 

Prosentase (%) 



Varietas Unggul 

Sesuai rekomendasi



Kurang sesuai rekomendasi


Tidak sesuai rekomendasi 

6



4-5


2-3 

44



12



78,6



21,4


0,0 



Benih Bermutu 

Sesuai rekomendasi



Kurang sesuai rekomendasi


Tidak sesuai rekomendasi 

16-18



11-15


6-10 

51



5



91,1



8,9


0,0 



Bibit Muda 

Sesuai rekomendasi



Kurang sesuai rekomendasi


Tidak sesuai rekomendasi 

12



8-11


4-7 

34



22



60,7



39,3


0,0 



Jumlah Bibit dan Sistem Tanam 

Sesuai rekomendasi



Kurang sesuai rekomendasi


Tidak sesuai rekomendasi 

9



6-8


3-5 

34



22



60,7



39,3


0,0 



Pemeliharaan 

Sesuai rekomendasi



Kurang sesuai rekomendasi


Tidak sesuai rekomendasi 

61-75



43-60


25-42 

26



30



46,4



53,6


0,0 



Panen dan Pasca Panen 

Sesuai rekomendasi



Kurang sesuai rekomendasi


Tidak sesuai rekomendasi 

20-24



14-19


8-13 

48



7



85,7



12,5


1,8 


Jumlah 

56 

100,0 



Sumber: Analisis Data Primer 2009. 
Varietas Unggul 


Varietas unggul merupakan varietas yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu, misalnya mempunyai daya hasil yang tinggi, cita rasa baik, maupun mempunyai ketahanan terhadap penyakit baik. Pada tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak 44 orang (78,6 %) menggunakan varietas unggul sesuai dengan yang direkomendasikan oleh PPL setempat. Petani responden menggunakan varietas unggul sesuai dengan yang direkomendasikan oleh PPL karena petani mendapatkan bantuan benih langsung dari PPL setempat dan membeli di toko saprodi sesuai dengan rekomendasi PPL setempat. Sedangkan sebanyak 12 orang (21,4 %) menggunakan varietas yang kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL atau varietas tersebut berasal dari pembenihan sendiri. 
Benih Bermutu 


Benih bermutu biasanya ditandai dengan ciri-ciri benih tersebut berlabel atau bersertifikat, kemurnian dan daya kecambahnya tinggi. Penggunaan benih bermutu ini sangat membantu responden karena menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, ketika ditanam pindah bibit dapat tumbuh dengan cepat. Cara memilih benih yang baik adalah dengan direndam dalam larutan ZA kemudian benih yang mengapung dibuang.


Merujuk pada tabel 13 dapat, sebanyak 51 orang (91,1 %) menggunakan benih sesuai dengan rekomendasi dari PPL. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani menggunakan benih yang bermutu sesuai dengan yang direkomendasikan oleh PPL setempat. Selain itu petani responden telah melakukan perendaman terhadap benihnya dengan larutan ZA 20 g/liter air sesuai dengan rekomendasi dari PPL dengan tujuan untuk memilih benih yang berkualitas baik. Benih yang berkualitas baik ditandai dengan tenggelamnya benih setelah direndam dalam larutan ZA.


Petani yang dalam penggunaan benih bermutu kurang sesuai dengan rekomendasi PPL sebanyak 5 orang (8,9 %), hal tersebut dikarenakan responden menggunakan benih hasil pembenihan sendiri atau tidak melakukan perendaman terhadap benih sesuai dengan yang telah direkomendasikan oleh PPL setempat. 
Bibit Muda 


Bibit muda adalah bibit yang berumur tidak lebih dari 21 Hari Setelah Sebar (HSS). Penggunaan bibit muda bertujuan untuk menghasilkan anakan lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan bibit yang lebih tua.


Sebagaimana data yang tersaji pada tabel 13, sebanyak 34 petani (60,7 %) menggunakan bibit muda sesuai dengan rekomendasi dari PPL setempat . Ini berarti bahwa petani menanam bibit pada usia muda yaitu pada usia 21 hari setelah sebar. Selain itu petani melakukan persiapan bibit berupa pembilasan benih supaya benih tidak mengandung larutan ZA, kemudian direndam selama 24 jam dan ditiriskan selama 48 jam. Hal tersebut dilakukan petani untuk mendapatkan bibit yang benar-benar baik sehingga pertumbuhan tanamannya juga baik.


Petani yang menggunakan bibit kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL sebanyak 22 petani (39,3 %), hal tersebut dikarenakan petani memindah bibit kelahan pada saat berumur kurang dari 21 HSS. Selain itu perlakuan terhadap bibit kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL, misalnya perendaman terhadap bibit kurang dari 24 jam dan waktu ditiriskan kurang dari 48 jam. 
Jumlah Bibit dan Sistem Tanam 


Sistem tanam adalah jarak tanam yang di gunakan oleh petani responden dalam usaha tani padinya. Sedangkan jumlah bibit merupakan jumlah bibit tiap lubang yang ditanam oleh petani responden. Berdasarkan pada tabel 13, sebanyak 34 petani (60,7%) menanam bibit dalam jumlah yang sesuai dengan rekomendasi dari PPL dan menggunakan sistem tanam yang sesuai dengan rekomendasi dari PPL setempat.


Sistem tanam yang digunakan petani responden adalah sistem jajar legowo 2:1 atau 4:1. Sistem jajar legowo 2:1 yaitu cara tanam berselang-seling 2 baris kemudian 1 baris kosong. Sistem jajar legowo 4:1 adalah cara tanam berselang-seling 4 baris kemudian 1 baris kosong. Penggunaan sistem tanam jajar legowo mempunyai tujuan untuk memudahkan dalam pengendalian hama, penyakit dan gulma. Selain itu penggunaan sistem tanam jajar legowo bertujuan untuk penyediaan ruang kosong untuk pengaturan air.


Sebanyak 22 petani (39,3 %) menanam bibit pada lahan dengan jumlah yang kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL dan kurang sesuai dalam penerapan sistem tanam. Hal tersebut dikarenakan petani menanam bibit dengan jumlah yang kurang dari 3 pada setiap lubangnya. Sistem tanam yang digunakan petani juga kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL yaitu dengan menggunakan sistem tanam tegel. 
Pemeliharaan 


Pemeliharaan merupakan kegiatan pemeliharaan oleh petani responden terhadap usahataninya sesuai dengan komponen dalam pengelolaan tanaman terpadu. Kegiatan pemeliharaan meliputi kegiatan pemupukan, penggunaan bahan organik, pengairan berselang, pengendalian gulma, serta pengendalian hama dan penyakit.


Tabel 13 menunjukkan bahwa dalam pemeliharaan tanaman padi sebanyak 30 petani (53,6 %) kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL atau pemandu lapang. Hal ini dipengaruhi karena petani kurang mengaplikasikan kegiatan pemeliharaan sesuai dengan yang diajarkan dalam SLPTT atau kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL. Pada tahap pemupukan petani kurang memperhatikan dosis dalam penggunaan pupuk. Selain itu petani responden juga kurang tepat dalam pelaksanaan pemupukan. Rekomendasi waktu pemupukan susulan I dilaksanakan pada saat padi berumur 23-28 HST dan pemupukan susulan II dilaksanakan pada saat padi berumur 38-42 HST, namun sebagian besar petani melakukan pemupukan susulan I < 23-28 HST dan pelaksanaan pemupukan susulan II < 38-42 HST.


Selain itu petani responden kurang dalam penggunaan bahan organik, hanya sebagian petani yang sudah menggunakan bahan organik untuk pemeliharaan usahataninya. Bahan organik tersebut berasal dari kotoran ternak yang dimiliki oleh petani responden. sebagian besar responden tidak memiliki ternak sehingga petani tidak dapat memanfaatkan kotoran ternak untuk dijadikan pupuk. 
Panen dan Pasca Panen 


Panen dan pasca panen merupakan tindakan petani pada saat memanen dan pada saat setelah panen. Berdasarkan tabel 13 sebanyak 48 petani responden (85,7 %) melaksanakan tindakan panen dan pasca panen sesuai dengan rekomendasi dari PPL atau pemandu lapang setempat. Responden melakukan proses panen pada saat padi berumur 30-35 hari setelah berbunga. Petani responden memanen tanaman padi dengan menggunakan power threser sehingga membutuhkan waktu lebih sedikit apabila dibandingkan dengan menggunakan pedal threser maupun dirontokkan secara manual. Tindakan setelah panen yang dilakukan oleh responden berupa pengolahan pasca panen, pengeringan, dan penggilingan.


Sedangkan sebanyak 7 petani responden (12,5 %) melaksanakan tindakan panen dan pasca panen kurang sesuai dengan rekomendasi dari PPL atau pemandu lapang setempat. Hal tersebut dikarenakan petani memanen tanamannya pada saat padi berusia kurang dari 30 hari setelah padi berbunga atau lebih dari 35 hari setelah padi berbunga. Selain itu petani responden tidak melakukan tindakan pasca panen karena hasil panenan langsung ditebas kepada para tengkulak. 
D. Hubungan Antara Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Petani Dengan Tingkat Adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi 


Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dengan tingkat adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi menggunakan analisis korelasi rank Spearman dengan program SPSS 12,0 for windows. Berikut ini tabel 15 yang menunjukkan hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam PTT Padi di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo.


Tabel 15. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) Padi



Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi (X) 

Tingkat adopsi (penerapan) PTT (Y Total) 


Rs 

T Hitung 

T Tabel 

α 

Taraf Kepercayaan (%) 

ket 


1. Sifat-sifat inovasi (X1) 

0,283 * 

2,066 

2,000 

0,05 

95 



2. Saluran komunikasi (X2) 

0,272 * 

2,339 

2,000 

0,05 

95 



3. Kegiatan Promosi (X3) 

0,280 * 

2,436 

2,000 

0,05 

95 



4. Jenis keputusan Inovasi (X4) 

-0,389 ** 

-3,656 

2,000 

0,05 

95 

SS 



Sumber : Analisis Data Primer 2009


Keterangan :


S : Signifikan


NS : Tidak Signifikan


SS : Sangat Signifikan 
Hubungan antara sifat-sifat inovasi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi 


Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,283 dengan t hitung 2,066 > t tabel 2,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sifat-sifat inovasi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT. Hasil yang signifikan ini menunjukkan bahwa sifat-sifat inovasi sangat penting dalam mempengaruhi petani untuk menerapkan komponen pengelolaan tanaman terpadu. Semakin tinggi sifat-sifat inovasi yang meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas (tingkat kesesuaian), kompleksitas (tingkat kerumitan), triabilitas (dapat dicoba), dan observabilitas (dapat diamati) semakin tinggi pula tingkat adopsi petani terhadap penerapan komponen pengelolaan tanaman terpadu. 
Hubungan antara saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi 


Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,272 dengan t hitung 2,339 > t tabel 2,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signikan antara saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi. Kesignifikansian ini menunjukkan bahwa saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT padi memiliki pengaruh terhadap tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT padi. Hal ini disebabkan karena semakin banyak saluran komunikasi yang digunakan untuk memberikan informasi tentang PTT padi maka petani lebih banyak mengetahui tentang berbagai komponen PTT padi. Saluran komunikasi merupakan alat yang digunakan untuk memberikan informasi mengenai komponen PTT sehingga membuat petani tertarik untuk menerapkan komponen PTT. Semakin banyak saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan inovasi tentang PTT padi maka semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap penerapan komponen PTT padi. 
Hubungan antara kegiatan promosi tentang PTT Padi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi 


Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,280 dengan t hitung 2,436 > t tabel 2,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signikan antara kegiatan promosi tentang PTT padi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi. Hasil yang signifikan ini disebabkan karena kegiatan promosi tentang PTT padi sangat penting untuk memberikan informasi kepada petani responden tentang komponen PTT padi. Semakin sering kegiatan promosi dilakukan oleh penyuluh maupun pemandu lapang lainnya maka semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap penerapan komponen PTT padi. 
Hubungan antara jenis keputusan inovasi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi 


Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,389 dengan t hitung -3,656 > t tabel 2,000. Nilai ini menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara jenis keputusan inovasi dengan tingkat adopsi atau penerapan komponen PTT padi dengan arah yang berlawanan (negatif). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jenis keputusan yang diambil petani dipengaruhi oleh kelompok belum tentu tingkat adopsinya rendah. Meskipun dipengaruhi oleh kelompok dalam menentukan keputusan tetapi tingkat adopsi petani tinggi. Hal tersebut dikarenakan petani tetap mengadopsi komponen PTT meskipun dipengaruhi oleh kelompok. Kelompok dianggap penting bagi petani karena kelompok dapat memberikan informasi lebih bagi petani tentang komponen PTT.


VI. KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan 


Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) 


1) Sifat-sifat inovasi termasuk dalam kategori tinggi.


2) Saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT padi termasuk dalam kategori tinggi.


3) Kegiatan promosi tentang PTT padi termasuk dalam kategori tinggi.


4) Jenis keputusan inovasi termasuk dalam kategori sedang. 
Tingkat adopsi (penerapan) Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. 


1) Penggunaan varietas unggul sesuai dengan rekomendasi atau dalam kategori tinggi.


2) Penggunaan benih bermutu sesuai dengan rekomendasi atau dalam kategori tinggi.


3) Penggunaan bibit muda sesuai dengan rekomendasi atau dalam kategori tinggi.


4) Jumlah bibit dan sistem tanam sesuai dengan rekomendasi atau dalam kategori tinggi.


5) Pemeliharaan kurang sesuai dengan rekomendasi atau dalam kategori sedang.


6) Panen dan pasca panen sesuai dengan rekomendasi atau dalam kategori tinggi. 
Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi dengan tingkat adopsi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi. 
Terdapat hubungan yang signifikan antara sifat-sifat inovasi dengan tingkat adopsi (penerapan) PTT padi. 
Terdapat hubungan yang signikan antara saluran komunikasi yang digunakan dalam menyebarkan inovasi tentang PTT Padi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi. 
Terdapat hubungan yang signikan antara kegiatan promosi tentang PTT padi dengan tingkat adopsi (penerapan) komponen PTT Padi. 
Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara jenis keputusan inovasi dengan tingkat adopsi atau penerapan komponen PTT padi dengan arah negatif. 
B. Saran 
Petani hendaknya menerapkan semua komponen PTT yang diajarkan dalam Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). 
Petani masih membutuhkan pendampingan berkala dari PPL dan dinas terkait mengenai keberlanjutan penerapan komponen PTT. 
Dalam kegiatan sosialisasi pihak-pihak yang memberikan informasi, baik petugas penyuluh lapang maupun pihak Dinas Pertanian sebaiknya memberikan informasi tentang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) secara lengkap sehingga petani mengetahui semua informasi yang berkaitan dengan PTT. 



































DAFTAR PUSTAKA





Achmad, Affandi. 1977. Pedoman bercocok Tanam Padi, Palawijo, Sayur-sayuran. Departemen Pertanian. Badan Pengendali Bimbingan Masal. Jakarta.


Catur, Sri. 2002. Program Intensifikasi Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). DEPTAN Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.


Dinas Pertanian. 2008. Petunjuk Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan dan Sumberdaya Tanaman Terpadu. Dinas Pertanian Sukoharjo.


Deptan. 2004. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.


Deptan. 2008. Sekolah Lapang PTT Padi, Bantu Petani Mempercepat Alih Teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.


Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya.


Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan Inovasi (Teknologi) dalam Penyuluhan Pertanian.


Kartasapoetra, A.G. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.


Kushartanti, E., Suhendrata, et al. 2007. Petunjuk Teknis PTT Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.


Lionberger, Herbert F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. The Iowa State University Press. Missouri.


Makarim, Irsal et al. 2004. Padi Tipe Baru. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sukamandi.


Makfoeld, Djarir. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Penerbit Agritech. Yogyakarta.


Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.


. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Departemen Kehutanan dan UNS Press. Surakarta.


. 2006. Prosedur Penelitian Untuk Kegiatan Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Prima Theresia Pressindo. Surakarta.


. 2001. Prosedur Penelitian Penyuluhan Pembangunan. Prima Pressindo. Surakarta.


Mardikanto, Totok dan Sutarni. 1983. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan Praktek. Hapsara. Surakarta.


Narbuko, C dan A. Achmadi. 2004. Metode Ilmiah. Bumi Aksara. Jakarta


Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.


Rachmawati, Nia. 2007. Pola Jaringan Komunikasi pada Kelompok Tani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pengolahan Kelapa Terpadu.


Rogers, Everett M. 1983. Diffusion Of Innovations. The Free Press. New York.


. 1995. Diffution of Innovation fourth Edition. The Free Press. New York.


Samsudin, U. 1982. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Angkasa Offset. Bandung.


Sastraatmaja, Entang. 1993. Penyuluhan Pertanian Falsafah, Masalah, dan Strategi. Alumni. Bandung.


Siegel. 1997. Statistik Non Parametrik. Gramedia Utama. Jakarta.


Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.


Siregar, Hadrian. 1980. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. PT Sastra Hudaya. Bogor.


Sugianto, Eko. 2008. Keberhasilan Program Peningkatan Beras Nasional di Purbalingga.


Sukmana, S, Amir P and Mulyadi D. M. 1989. Development In Procedures For Farming System Research. Agency For Agricultural research and Development.Jakarta.


Toha, Husin. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Subang.


Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. CV. Yasaguna. Jakarta.


Zairin, M Dan M Toha, Husin. 2005. Pengembangan Varietas Unggul Baru (VUB) dengan Pendekatan Model PTT Padi Sawah Irigasi. BPTP NTB dan BB Padi Sukamandi.






Sumber : h0404055.wordpress.com

0   komentar

Cancel Reply
INFO

WELCOME

Selamat datang di blog saya yang sederhana ini... semoga blog ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.. " Tak ada gading yang tak retak " kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan.. Terima kasih atas kunjungan anda :D

[ About Me ]

Nama : Agung Cahya Budy

Umur : 20 Tahun

Instagram : agung_cb

Whatsapp : 085 743 800 806

Pin BBM : 587610E8